Sabtu, 11 April 2015

Aku Tak Mau Punya Ayah Tiri





                Aku terisak saat memandang foto Ayah, lelaki yang begitu amat ku sayangi dalam hidup. Sosok lelaki tampan yang sederhana dan Imam yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Aku sering memandangi dan memeluk foto Ayah setiap kali aku merindukan Ayah yang sudah satu tahun menghadap Ilahi.
                Aku masih tak percaya Ayah yang begitu ku cintai, tak lagi ada ditengah-tengah keluarga. Separuh hidupku seperti runtuh, kehilangan sumber semangat dan tempat berbagi. Aku memang yang paling dekat dengan Ayah, keluarga dan teman-teman tak jarang yang bilang aku ini anak Ayah. Karena hampir setiap saat Ayah selalu memantau setiap kegiatan dan kabar aku melalui telpon, tak heran jika mereka semua berpikir seperti itu.
Ayah segalanya buat aku, bukan berarti aku tak menyayangi Ibu yang telah mengandungku selama 9 bulan dan melahirkan aku berjuang antara hidup dan mati. Aku sama-sama menyayangi mereka, cintaku juga sama rata. Tanpa ibu aku tak akan mampu berdiri sendiri. Hanya mungkin karena terlalu sering berkomunikasi dan dicerewetin Ayah jadinya aku lebih dekat dengan Ayah.
Keluargaku hidup dengan harmonis saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain, keeratan itupun semakin terasa sejak kepergian Ayah, kami jadi sering berkumpul bersama. Aku anak ke tiga dari empat bersaudara. Kedua kakakku sudah menikah dan tinggal terpisah dari kami. Kakak pertamaku laki-laki, namanya Bang Guntur. Dan kakak keduaku perempuan, namanya Kak Salma. Adikku yang bungsu laki-laki, namanya Rama.
Hingga pada suatu hari badai itu datang, Ibu terlihat sedang dekat dengan seorang laki-laki yang katanya dulu adalah temannya sewaktu masih sekolah. Aku memang pernah bertemu dengannya beberapakali saat Ayah masih ada, dia pernah berkunjung kerumah jika sedang ada di Bandung. Ibu pernah cerita, kalau temannya itu kerja dan menetap diJakart. Namanya Pak Candra. Dia sudah menduda cukup lama, dulu saat ibu cerita aku masih duduk dibangku SMA. Katanya dia cerai dengan Istrinya yang orang Minang dan kedua anak perempuannya ikut dengan Ibu mereka tinggal di Minang. Terakhir saat Ayah sakit dia sempat datang menjenguk dan aku dengar mantan istrinya sudah meninggal dunia.
Sejujurnya aku sangat kecewa mendengar kedekatan Ibu dengan lelaki itu, walaupun setiap kali keluarga menanyakan ibu selalu menjawab hanya sebatas teman. Tapi aku merasakan ada niat tertentu dibalik kedekatan mereka. Ibu yang dulu tak begitu dekat dengan lelaki teman-teman semasa sekolahnya dulu, sekarang menjadi jauh berbeda. Sering aku mendengar mereka sekedar bertelpon ria, mereka terlihat asik bercanda lewat telpon, terkadang akupun membaca beberapa pesan singkatnya yang menurutku tak biasa untuk sebuah pertemanan.
Ya Allah, hamba tak ingin dan tak akan pernah Ridha mempunyai Ayah tiri. Membayangkannya saja tak pernah apalagi kalau sampai mengalaminya. Aku tak mau!
Semakin hari aku semakin kecewa dengan sikap ibu, tapi semua kutahan. Dan akupun menjadi lemah, tak jarang aku menangis setiap kali melihat ibu menerima telpon dari lelaki itu. Ingin rasanya berteriak, aku marah, kecewa. Ya, Allah kenapa Ibu ku begitu berubah. Sering aku menyibukan diri dikampus sampai sore hanya untuk menghindari melihat ibu tengah asik bercanda ditelpon dengan lelaki itu.
Selama ini yang aku tahu mereka hanya sebatas bertelpon ria tak pernah jauh sampai pergi berdua. Pernah sekali dia berkunjung kerumah, dan aku memasang wajah jutek dan ibu tahu dari sikapku kalau aku tak menyukai temannya itu. Sejak saat itu dia tak pernah berani datang kerumah. Tiga bulan sudah kupendam semua kekecewaan dan kesedihan ini sendiri. Tak pernah sekalipun kuceritakan pada kedua kakakku apalagi kepada si bungsu Rama, masih duduk dibangku SMA. Kedua kakakku terlihat tak begitu perduli dengan gosip dan kedekatan ibu dengan temannya itu. Dan itu semua membuat kekecewaanku semakin besar. Sementara si bungsu terlihat tak suka hanya saja tak berani mengutarakan.
Akhirnya kekecewaan aku sampai pada batasnya. Saat itu Pak Candra berkunjung kerumah, dia terlihat kaget melihat aku yang membukakan pintu. Mungkin dia pikir aku tak ada dirumah, saat dia datang Ibu sedang ada urusan disekolah si bungsu.
“Ibu ada Neng?” tanyanya dengan senyum.
Aku pikir mungkin ini saatnya aku bicara jujur pada laki-laki yang paling aku benci selama tiga bulan terakhir ini. Lelaki yang membuat aku muak dan ingin memakinya. Tapi sebisa mungkin aku menahan diri untuk sopan.
“Tidak ada, sedang kesekolah si bungsu” jawabku sedikit ketus.
“ohh, begitu. Yasudah nanti saja Bapak kesini lagi” katanya lagi masih dengan senyum diwajahnya.
“Tunggu Pak, kalau boleh saya mau bicara” kataku masih menahan emosi
“Ada apa?” tanyanya yang masih berdiri dipintu dan tak kupersilahkan masuk.
“Maaf, saya tahu Bapak dan Ibu berteman dari sejak dibangku SD. Saya juga sedikitnya tahu tentang Bapak. Tapi jujur saja saya tidak suka dengan kedekatan Bapak dengan Ibu saya dan saya juga tidak suka dengan kunjungan Bapak ini” kata saya menegaskan.
“Memang apa yang salah dengan kedekatan kami berdua Neng?” tanyanya dengan senyum sedikit meledek yang membuat saya semakin emosi.
“Yang salah karena status kalian janda dan duda, itu akan menimbulkan fitnah” jawabku dengan nada sedikit emosi.
“Tapi kami tak pernah jalan berdua, berjinah  atau apapun itu yang dapat menimbulkan fitnah dan dosa”. Katanya menyanggah
Rasanya emosiku sudah tak bisa kutahan lagi “Dengan menelpon setiap hari, tertawa dan bercanda layaknya remaja ABG ditelpon bapak pikir itu bukan jinah? Apalagi kalian bukan muhrimnya” kataku penuh emosi.
“Tapi bukan saya yang menelpon Ibu Neng duluan, Ibu yang suka menelpon dulua. Kasihan dong kalau tidak saya respon” katanya santai dengan senyum meledek
“Ya, Allah maafkan hambamu ini, hamba benar-benar sudah tidak bisa lagi menahan emosi dan bersikap sama lelaki didepan hamba”. Keluhku dalam hati
“Terserah bapak mau bilang apa, pokoknya saya tidak suka dengan kedekatan kalian. Dan harap jauhi Ibu saya, tak usah lagi berhubungan sekalipun Ibu saya yang menghubungi duluan” kataku mengakhiri pembicaraan ini dengan benar-benar penuh emosi dan membanting Pintu.
Aku masuk kamar dan menangis menatap foto Ayah. Ahhh...rasanya hari ini begitu kangen Ayah. “Seandainya Ayah masih ada, mungkin air mata ini tak akan pernah ada. Seandainya Ayah ada hati ini tak akan sesakit ini, Yah” kataku dalam hati.
Sore itu saat aku tengah asik menonton TV denga Adikku tiba-tiba ibu membuka obrolan. “Neng, tadi Pak Candra kesini kan?” tanya Ibu
“Iya” jawabku singkat.
“Kenapa kamu ngomong gitu ke Pak Candra? Gak sopan kamu sama yang lebih tua” kata ibu
“Ohh, jadi dia ngadu sama Ibu. Nayla udah berusaha sopan dia duluan aja yang mulai” kataku sedikit emosi
“Nay, jaga omongan kamu Pak Candra itu lebih tua dari kamu. Kalau ngomong yang sopan” kata Ibu dengan nada sedikit tinggi.
“Jadi ibu lebih ngebela dia? Ibu tau gak, dia bilang ibu yang kecentilan nelpon dia tiap hari. Nay sakit denger itu Bu” kataku mulai terisak
“Biarin Pak Candra mau bilang ibu yang duluan atau apapun, kenyataannya ibu gak gitu. Kamu harus tetep sopan sama yang lebih tua. Lagian antara Ibu dan Pak Candra gak ada hubungan apapun Nay”
“Terus aja ibu belain dia, Ibu Cuma mikirin kesenangan Ibu. Ibu gak mikirin perasaan Nay, perasaan Rama setiap hari ngliat ibu ketawa ketiwi sama orang itu di telpon, hati Nay sakit Bu”. Tangisku semakin kencang.
“kenapa harus sakit hati? Ibu kan udah bilang sama kalian semua dan keluarga yang lain kalau Ibu gak mau dan gak akan nikah lagi. Jadi kamu gak usah berlebihan” Ibu juga terlihat jadi emosi
“Kalau Ibu emang gak mau nikah lagi berhenti berhubungan sama dia, itu Cuma nyakitin hati anak-anak ibu” jawabku masih terisak
“Anak-anak Ibu yang mana? Cuma kamu aja yang sikapnya berlebihan, kedua kakak kamu tau tapi mereka biasa saja. Rama juga biasa saja. Cuma kamu aja, Nay”. Ibu semakin emosi
Allah, ada apa dengan sikap ibu. Aku benar-benar kecewa. “Rama masih kecil Bu, kalau coba ibu pahami mungkin dia jauh lebih sakit dari Nay. Ibu egois benar-benar egois” akupun berlari kekamar, aku lupa akan Rama. Rama ada disana menyaksikan pertengkaranku dengan Ibu.
“Maafkan Kakak. Ram” gumamku dikamar
“Kamu dari dulu memang anak Ibu yang paling susah dibilangin, keras kepala” suara Ibu masih terdengar dari luar dan tampaknya Ibupun semakin emosi.
Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya sambil mengingat Ayah. “Ayah... Ayahhh” Isaku dalam tangis.
“Kamu sudah dewasa Nay, harusnya kamu memberi contoh buat Rama Adikmu, bukan malah bersikap tak sopan kepada yang lebih tua” Ibu masih saja menggerutu.
Entah kapan Ibu berhenti menggerutu, tiba-tiba saja aku sudah tak mendengar lagi suaranya. Aku tertidur karena terlalu lelah dengan semua emosi dan tangisku malam ini. Esoknya saat aku bangun rumah sudah sepi. Rama sudah pasti pergi sekolah, Ibu mungkin kepasar pikirku. Aku bergegas mandi dan pergi kekampus. Aku tak mau bertatap wajah dengan Ibu, itu hanya akan merusak moodku saja.
Sorenya saat aku tiba dirumah, hanya Rama yang terlihat tengah asik menonton TV dan Ibu tak terlihat. Didapurpun Ibu tak ada. Kamarnya pun sepi, aku pikir Ibu sedang istrirahat. Sampai malam tiba Ibu masih tak terlihat. Aku pun khawatir dan aku beranikan diri membuka pintu kamarnya tapi aku tetap tak bisa menemukan Ibu.
“Ibu kemana Dek?” tanyaku pada Rama.
“Katanya mau nginep dirumah Kak Salma” jawab Rama yang terlihat sibuk dengan PR dan menontn TV
“Ko tumben seh nginep? Emang Kak Salma kenapa?” tanyaku
“Gak tau, gara-gara kemarin bertengkar sama Kakak Mungkin” jawab Rama
“Ohhh...” kataku lirih. “Kamu tuh kebiasaan De kalau belajar sambil nontn TV. kakak mau tidur duluan cape, kamu tidurnya jangan malem-malem terus TV nya jangan lupa dimatiin yaa” kataku lagi.
“Siippp” jawab Rama singkat
“Jangan sip-sip aja, nanti malah ketiduran depan TV lagi kamu” kataku mengacak-acak rambut Adik kesayanganku
“Ngga, tenang aja. Kak besok bangun pagi siapin sarapan buat Rama yaa?” kata Rama sedkit teriak
“Oke, tenang” kataku mengancungkan jempol sambil berlalu.
“Awas jangan kesiangan lho” katanya sedikit khawatir.
Aku memang paling susah bangun diantara saudara-saudaraku yang lain. Semasa sekolah dulupun aku sering kesiangan. Dulu sewaktu masih ada Ayah, Ayah lah yang selalu membangunkan aku dengan berbagai cara. Ahh.. Ayah, akhir-akhir ini aku kangen sekali sama Ayah.
Tiga hari sudah Ibu menginap dirumah Kak Salma. Mungkin benar kata Rama, Ibu pergi dari rumah karena pertengkaran kami beberapa hari yang lalu. Gak biasanya ibu menginap lama dirumah kak Salma, biasanya sehari aja ibu udah langsung inget Rama gak ada yang ngurus katanya, kalau ditinggal berdua sama aku. Ibu juga gak pernah menelpon hanya sekedar bertanya tentang Rama.
Hari ini aku pulang lebih awal karena kasihan Rama kalau aku pulang sore. Saat sampai rumah aku lihat Ibu sudah pulang, tapi Ibu pulang hanya sebentar untuk mengantarkan makanan buat Rama dan Ibu pergi lagi ke rumah Kak Salma diantar ojeg. Rumah Kak Salma memang tak begitu jauh dari rumah kami, mungkin hanya memerlukan 1,5 jam perjalanan.
Sejujurnya aku semakin kecewa kepada Ibu, kenapa sikapnya harus seperti ini? Kalau memang Ibu marah kepadaku tak masalah buatku tapi jangan pergi meninggalkan rumah sampai tak ingat si Bungsu. Mungkin aku tak masalah Ibu tinggal berhari-haripun, tapi Rama? Dia masih kecil, masih butuh Ibu. Sejak kejadian malam itu hubungan aku dan Ibu semakin buruk dan kamipun tak saling bicara satu sama lain. Kedua Kakakku tak pernah bertanya atau mengatakan apapun tentang situasi ini. Entahlah, mungkin mereka terlalu sibuk atau mereka tak perduli lagi.
Kekecewaan akupun semakin hari semakin dalam terhadap keluarga. Ibu hanya karena laki-laki yang belum tentu lebih baik dari Ayah tega mengabaikan aku dan Rama dengan berlama-lama dirumah Kakakku.  Bagaimanapun aku dan Rama masih tanggung jawab Ibu tapi Ibu lebih memilih ketenangan hatinya dari pada kami yang masih menjadi tanggung jawabnya. Sikap kedua kakakku yang membiarkan Ibu berlama-lama meninggalkan kami itupun membuat aku amat kecewa. Aku tahu kak Salma dari dulu memang yang paling dekat dengan Ibu dan paling dimanja Ibu sekalipun dia sudah menikah, tapi harusnya kak Salma bisa menasehati Ibu. Bukankah seorang anakpun bisa menasehati Ibunya jika memang yang dilakukan Ibunya Itu salah?.
Aku hanya bisa berdoa setiap saat kepada Allah agar kelak keluargaku kembali utuh seperti dulu, kehangatan dan canda tawa itu kembali ada antara kami semua. Dan aku selalu berdoa semoga Ibu dibukakan mata hatinya bahwa sosok teman yang dia bela tak membawa kebaikan untuk keutuhan dan kenyamanan keluarga kami. Lindungi Ibu hamba dimanapun dia berada Ya Allah.
Nayla sayang Ibu. Semua sikap keras Nay, bukan karena Nay egois Bu tapi karena Nay sayang dan ingin yang terbaik untuk Ibu dan keluarga kita. Apapun alasannya kehadiran lelaki itu tak akan pernah tepat. Semoga Ibu dan keluarga memahami hati Nay. Sampaikan pun Nay Sayang Ibu.

9 komentar:

Unknown mengatakan...

Ini... Sama persis sama apa yang indah alamin sekarang. Ngena banget ceritanya :"

Unknown mengatakan...

sedih :'(

Unknown mengatakan...

Bkalan sm nie ceritanya kyak gue

Unknown mengatakan...

Bkalan sm nie ceritanya kyak gue

Unknown mengatakan...

inilah yang akan kembali menimpaku

Unknown mengatakan...

Biasanya seorang Ibu tak sampai Berlebihan seperti itu jika sedang Marah...Bahkan segera reda marah nya, apalagi dengan anak kandung sendiri.

Al fitrah firdaus mengatakan...

dan cerita itu menimpa saya 2th lalu sampai sekrang, menahan kecewa dan emosi terhadap (ayah tiri).

Unknown mengatakan...

Sama persis yang akan menimpaku

Unknown mengatakan...

Kalau saya sejak usia 3 tahun ditinggal sosok ayah yg sangat aq cintai,dan hari ini aq merindukannya 😅

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates