“Kapan Nikah?”
pertanyaan ini yang sering orang-orang tanyakan padaku. Baik teman-teman semasa
sekolah dulu, keluarga, bahkan orang-orang sekitar rumah. Ahh... rasanya benci
setiap kali mendengar pertanyaan itu. Dan aku pun mulai bingung mau menjawab
apa?
“Doakan saja, belum ketemu
jodohnya, masih mau cari duit dulu” semua jawaban sudah pernah aku ungkapkan
dan itu tak membuat orang-orang bosan untuk bertanya.
Terkadang aku berpikir, apa
salahnya kalau belum menikah? Umurku juga belum terlalu tua, wajarkan di umur
27 tahun belum menikah, bahkan artis-artis banyak yang menikah diatas 30 tahun.
Atau karena adikku yang masih muda lebih dulu menikah sedangkan aku belum?.
Sahabat dan kelurgaku sempat
berpikir alasan aku belum mau menikah dan tak pernah terlihat menggandeng pacar
karena aku trauma akan kegagalan kisah cintaku di masalalu. Mungkin itu salah
satunya, tapi aku tak memandang itu sebagai suatu trauma hanya kepada lebih
berhati-hati dalam mengenal seorang lelaki apalagi untuk dijadikan sebagai
pendamping hidup, Imam untuk aku dan anak-anakku kelak.
Aku akui, kegagalan kisah
cintaku di masalalu sangat memberiku pelajaran berarti dan sempat membuatku
berpikir tak ada laki-laki yang sebaik Ayah didunia ini. Yang akan menjaga dan
mencintai aku segenap hatinya, dan terlebih tak akan pernah membuat aku
menangis karenanya.
Lima tahun menjalin hubungan
dengan Rangga, dan berakhir karena sebuah pengkhianatan itu merupakan sebuah
pukulan terbesar yang aku terima. Lima tahun? Mudah sekali dia melupakan semua
waktu yang telah kami lewati bersama. Lima tahun? Mudah sekali baginya
melupakan rasa cinta yang telah kami jaga sekian lama. Lima tahu? Mudah sekali
baginya melupakan semua janji-janji manisnya yang telah dia racuni kedalam
pikiran dan harapanku. Lima tahun? Mudah sekali baginya melupakan mimpi-mimpi
kami berdua tentang masa depan yang indan dan penuh cinta.
“Kamu jangan terlalu membenci
mantan Gish, yang sudah ya sudah lupakan kita harus move on. Hidup itu untuk
maju kedepan bukan melulu menoleh ke belakang” Ucap Rere berusaha menasehatiku.
“Aku bukan belum move on Re,
hanya untuk memaafkan dan melupakan semuanya itu gak mudah” jawabku sedikit
ketus.”Aku juga tak sebaik kamu, yang dengan berbesar hati memaafkan dan menghadiri
pernikahan mantanmu itu” lanjutku diiringi tawa kedua sahabatku yang lain Anissa
dan Ariani.
“Kenapa jadi mantan aku
dibawa-bawa seh?” Rere terlihat kesal karena ucapanku
“Iyaiya, sori deh. Abis kamu tuh
kalau ngomong kayak gampang banget” jawabku geli melihat sahabatku kesal.
“Aku setuju. Gak semua orang
punya sikap kayak kamu Re. Kisah mungkin boleh sama tapi cara menanggapinya
pasti berbeda” kata Anissa menambahkan.
“Iya, ngerti deh yang sama-sama
terluka karena mantan” jawab Rere setengah meledek.
Pembicaraan
mengenai mantan ditengah-tengah makan siang dengan sahabat-sahabatku tercinta
sedikit membuka luka lama. Yaah..walaupun sekarang aku tak begitu mengingat
rasa sakit yang dulu diberikan oleh Rangga tapi tetap saja aku tak mudah
melupakannya begitu saja.
Dari
sekian banyak orang-orang yang mempertanyakan tentang kesendirianku, hanya
ketiga sahabatku lah yang memahami tentang keputusan aku untuk tidak berpacaran
lagi dan belum menikah diusia yang menurut orang-orang sudah melebihi batas
bagi seorang wanita untuk menikah. Apalagi dikeluargaku mungkin hanya aku yang
telat menikah. Rata-rata semua saudara Sepupu, Kakak dan bahkan Adikku menikah
diusia dibawah 25tahun sekalipun mereka Laki-laki.
Ada
yang menarik dari persahabatan kami berempat, yaitu kami sama-sama korban patah
hati oleh lelaki. Rere sebenarnya lebih parah dari aku, dia 9 tahun pacaran dan
pacarnya selingkuh. Mungkin bedanya Rere lebih legowo dan bisa memaafkan mantan
pacarnya. Buktinya dia dengan berbesar hati menghadiri pernikahan mantannya
dengan selingkuhannya dulu, Rere juga sudah punya pacar lagi dan 3bulan lagi dia akan menikah. Anissa, dia
pacarannya paling sebentar diantara yang lain tapi sejak diselingkuhi pacarnya
dia benar-benar mati rasa terhadap lelaki.
Ariani, diantara kami berempat dia yang paling aku tak habis pikir
berkali-kali disakiti sama pacarnya tapi tetap saja luluh setiap kali pacarnya
ngajak balikan.
Aku
sendiri sebenarnya tidak terlalu menghindar atau membenci laki-laki. Karena aku
tahu tidak semua lelaki itu seberengsek Rangga. Hanya saja sejak aku putus dari
rangga 4 tahun lalu, aku memutuskan untuk tidak lagi berpacaran dan menunggu
sampai ada yang benar-benar serius langsung melamar aku untuk jadi istri.
Sering
kali ibu dan tante-tanteku sibuk menjodohkan aku dengan kenalan-kenalan mereka,
kebanyakan dari mereka mungkin siap untuk meminang bukan untuk pacaran tapi
entah kenapa hati aku tak pernah merasa klik setiap kali dikenalkan.
“Kamu
tuh sebenarnya cari suami yang seperti apa seh?” tanya Ibu saat kami tengah sibuk
didapur. “Dikasih yang ganteng bilangnya, yang ganteng banyak yang suka
nyeleweng, dikasih yang mapan minderlah, dikasih yang sedehana, baik, malah gak
klik. Jangan terlalu banyak alasan nanti gak nikah-nikah kamu”lanjut ibu.
“Gisha
gak punya kriteria khusus bu, gak masang target yang tinggi-tinggi juga ko”
jawabku sekenanya.
“Ya,
terus maunya yang gimana? Semua kenalandari Ibu dan Tante-tante kamu tolak.
Dicoba dulu apa salahnya, kalau gak cocok berarti bukan jodohnya”
“Itukan
udah dicoba, Gisha gak cocok mangkanya jadi bukan jodohnya” jawabku tersenyum.
“Dicoba
apanya, baru juga sms beberapa kali sudah gak direspon. Tantemu semua pada
protes yang dikenalin ko pada gak direspon” omel Ibu.
“Gisha
belum terpikir buat nikah Bu, masih enjoy sendiri dan bebas pergi sama
teman-teman”
“Mau
sampai kapan? Umurmu sekarang sudah 27, teman-temanmu sudah banyak yang punya
anak. Kamu masih saja mau main. Orang-orang juga sudah banyak yang nanya kapan
kamu nikah? Gara-gara kamu dilangkahin Adikmu. Ibu kan bosan mendengarnya”keluh
ibu
Ahh...Ibu
mulai mengeluh lagi tentang pernikahan. Hal yang amat sangat membosankan untuk
dibahas berpanjangan.
“Ya,
ibu tinggal jawab aja minta doanya, kalau ada jodoh Insya Allah tahun depan”
jawabku asal.
“Iya,
nanti tahun depan mereka nanya gitu lagi terus ibu jawab gitu lagi? Terus aja
gitu” Ibu mulai terlihat kesal. “Ibu gak ngerti maunya kamu tuh apa?”
“Kalau
ada lelaki sebaik dan seganteng Ayah,
Gisha janji gak akan nolak” jawabku sambil kupeluk dan kucium pipi Ibu.
“Tuhkan
Yah, lihat anakmu itu” ucap ibu pada Ayah dengan sedikit kesal. Ayah hanya
tersenyum mendengar percakapan aku dan Ibu.
Sebenarnya
itu bukan hanya asal jawab untuk menghindari keluhan Ibu lebih banyak lagi
tentang anak perempuannya yang belum juga mau menikah ini. Tapi aku memang
selalu mengharapkan mendapat suami
seperti sosok Ayah. Pria sederhana yang begitu menyayangi Ibu dan keluarga,
yang selalu menjaga anak perempuannya sekalipun Aku jauh dari Ayah.
Mungkin
karena Ayah hanya punya Aku satu-satunya anak perempuan mangkanya Ayah jadi
sangat over protective kepadaku. Aku anak kedua dari 3 bersaudara. Kakakku yang
pertama laki-laki sudah menikah dan
memiliki dua orang anak. Adikku yang bungsu 3 tahun lebih muda dariku dan dia
baru saja menikah 6 Bulan yang lalu. Sekarang yang tinggal bersama Ayah dan Ibu
hanya tinggal aku seorang itulah kenapa Ibu jadi semakin lebih cerewet.
Ditambah karena aku anak perempuan belum menikah dan dilangkahi pula oleh
adikku yang laki-laki.
Sebenarnya
untuk aku pribadi tak masalah dilangkah menikah oleh Adikku, Ayah juga tak
mempermasalahkan itu. Aku masih ingat perkataan Ayah sewaktu Ibu tak menyetujui
Adikku menikah lebih dulu.
“Buat
Ayah yang terpenting anak perempuan Ayah satu-satunya ini harus menemukan
lelaki yang benar-benar sayang dan menjagamu dengan baik, dan lelaki seperti
itu susah dicari jadi tak usah terburu-buru.” Kata Ayah sambil memelukku
“Iya,
tapi apa kata orang Yah. kalo Gisha dilangkah sama Rio. Rio juga masih terlalu
muda untuk nikah, laki-laki umur berapapun nikah tak masalah. Tapi anak
perempuan udah lewat 25 belum nikah pandangan orang jelek tentang dia.” Jawab
Ibu kesal
“Ibu
kenapa seh harus mikirin terus apa kata orang? Yang terpenting tuh anak Ibu
bahagia, apa salahnya Rio masih muda nikah lebih dulu. Dia udah ketemu
perempuan yang baik, dan siap untuk nikah. Gisha kan belum ketemu jodoh yang
cocok dan Gisha juga belum siap buat niakah Bu.”kataku mencoba meyakinkan Ibu.
Dengan
segala argument Aku dan Ayah akhirnya berhasil meyakinkan Ibu untuk mengizinkan
Rio Adikku menikah lebih dulu. Aku paham perasaan Ibu yang begitu khawatir
tentang masa depanku. Tapi mau bagaimana lagi karena Aku memang belum menemukan
lelaki yang cocok.
Hingga
suatu malan saat aku tengah iseng membuka facebook, tiba-tiba ada seseorang yang
menyapaku. Orang yang tak asing lagi buatku dan aku cukup mengenalnya dengan
baik, yupp.. dia Fariez. Fariez adalah sahabat dekat Rangga. Dulu saat aku
masih pacaran dengan Rangga, aku sering menghubungi Fariez kalau Rangga lagi
susah dihubungi, bahkan kadang saat aku bertengkar dengan Rangga pun Fariez selalu
siap mendengarkan setiap curhatan aku.
“Assalamu’alaikum..”
sapanya.
“Wa’alaikum
salam..” jawabku.
“Gimana
kabarnya?” tanyanya
“Alhamdulillah
sehat, kamu sendiri apa kabar? Sekarang dimana? Kerja dimana? udah nikah
belum?”
“Aduh,
ini nanya apa soal ujian pertanyaannya banyak banget jadi bingung mau jawabnya”
jawabnya.
Aku
tertawa kecil membaca balasan darinya
“Alhamdulillah
sehat juga, Sekarang di Yogya. Alhamdulillah dapet rezekinya disini. Masih
sendiri aja neh, cariin jodoh dong” tulisnya kemudian.
“Masa
seorang Fariez minta dicariin jodoh seh, bukannya yang ngantri banyak?”
candaku. Fariez dulu cukup populer saat masih di SMA banyak gadis-gadis yang
suka, dia ganteng, baik dan pendiam. Ketua Rohis pula. Tapi sayangnya tak ada
satupun yang jadi pacarnya. Mungkin karena buat dia tak ada istilah pacaran
dalam Islam.
“Mana
banyak? Ini buktinya masih jomblo aja.” Jawabnya
“Kamu
nya yang terlalu pemilih itu seh” ledekku
“Ahh,
ngga ko. Ngomong-ngomong kamu sendiri udah nikah dong? Rangga gimana?”
Huuh...aku
menghela nafas sejenak. “Kenapa harus pertanyaan tentang Rangga seh?” keluhku
dalam hati.
“Kenapa
harus tanya Rangga seh?” jawabku sedikit ketus
“Upps..
sori aku gak ada maksud apa-apa ko, aku kira kalian masih suka kontek” jawabnya
sedikit merasa bersalah
“It’s
Okay... udah gak pernah sejak terakhir putus. Kamu kan sahabatnya kenapa tanya
aku?”
“Aku
juga udah 2 tahun gak tau kabar dia, sejak aku di Yogya.” Jawabnya
“Ohh,
kamu sudah lama di Yogya?” tanyaku
“Ya,
sejak mulai kerja aja. Ngomong-ngomong kamu belum jawab udah nikah belum?”
“Belum,
gimana mau nikah pacar aja gak punya” jawabku asal.
Dari
sejak Chatting malam itu aku dan Fariez mulai sering ngobrol, entah itu lewat
sosmed atau pun via sms dan telpon. Dia masih seperti dulu tak banyak berubah,
anak yang asik diajak ngobrol, bikin betah untuk diajak berdiskusi atau sekedar
curhat tentang rutinitas kantor yang terkadang menyita waktu dan tenaga. Hingga
suatu hari Fariez mengutarakan niatnya untuk melamar aku.
“Aku
serius Gish” ucapnya ditelpon.
“Apa
ini tidak terlalu cepat Riez” jawabku
“Apanya
yang terlalu cepat Gish? Kita saling kenal dan berteman dari sejak kita masih
duduk di bangku SMP, dan aku cukup tau kamu.” Katanya meyakinkanku
“Entahlah,
Riez aku masih tidak paham dengan semua ini” jawabku bingung
“Ini
bukan karena km masih menyimpan rasa untuk Rangga kan?”tanyanya mengagetkanku
“Bukan,
bukan sama sekali. Aku benar-benar sudah melupakan Rangga. Bahkan dalam
mimpipun aku malas untuk mengingatnya.”jawabku sedikit emosi.
“Lantas?”
tanyanya lagi.
“Kasih
aku waktu untuk berpikir”jawabku lemas
“Okay,
I wait for your answer. Sudah malam, kamu istirahat. Assalamu’alaikum” katanya mengakhiri obrolan
kami,
“Walaikum
salam” jawabku
Esok
siangnya aku cerita tentang Fariez kepada tiga sahabatku berharap dapat
pencerahan untuk mengambil keputusan.
“Apa
lagi yang kamu ragukan Gish? Dia baik, kamu juga udah lama kenal dia” ucap Rere
penuh semangat
“Masalahnya
Dia teman baik dan sahabatnya Rangga Re, aku bingung” jawabku dengan memasang
wajah manyun.
“Terus?
Salah kalau dia teman dekatnya Rangga mantan kamu? Kan gak ada larangan buat
nikah sama teman mantan pacar” jawab Rere dengan pemikirannya
“Kali
ini aku setuju ama Rere, Gish. Kan gak salah kalau kamu menikah dengan temannya
mantan pacar kamu, selama dia memang yang terbaik buat kamu” tambah Annisa.
Ahh.. Annisa yang biasanya selalu membela dan satu pemikiran dengan akupun
sekarang sependapat dengan Rere.
“Iya,
seh tapi aneh gak seh masa kita nikah dengan sahabatnya mantan pacar kita yang
dulu nya tau persis kisah cinta kita, yang suka bantuin kita kalau lagi
berantem sama mantan kita dulu” jawabku mencoba menjelaskan isi hatiku.
“Ya,
gak usah dipikirin dia temannya mantan pacar kamu Gish. Sekarang pikirinnya dia
itu lelaki baik yang datang untuk serius dan mau membahagiakan kamu” komentar
Ariani. Aku kaget dengan komentarnya
seorang Ariani yang gak pernah bisa move on tiba-tiba begitu bijak.
“Udah
mending kamu Sholat aja dulu minta petunjuk Allah itu yang paling bener” kata
Annisa.
Sebulan
sudah aku membuat Fariez menunggu jawaban atas lamarannya dan malam ini setelah
sholat dan meminta petunjuk kesekian kalinya kepada Allah, aku sampai pada
keputusanku. Aku mengambil ponsel ku dan mengumpulkan segala keberanianku
mengetik pesan untuk Fariez.
“Assalamu’alaikum...
Maaf sudah membuatmu menunggu terlalu lama untuk jawaban atas keseriusanmu
tempo hari” ku kirim kan sms itu
“Wa’alaiku
salam... sebulan tidak lama untukku, Gish. Dan aku masih akan tetap menunggu
walau harus beberapa bulan kedepan” jawab Fariez
Aku
tersenyum membaca pesannya “Gombal ini orang” gumamku. Tiba-tiba ada sms lagi
yang masuk.
“Yang
tadi bukan gombal ya tapi aku serius” tulis Fariez. Seakan-akan dia tau apa
yang ada benakku.
“Aku
gak mau membuatmu menunggu lebih lama” jawabku singkat
“jadi,
sudah ada jawaban?” tanya Fariez
“Dengan
mengucap Bismillah aku terima
keseriusanmu” jawabku
“Alhamdulillah... terimakasih Gish, besok
aku kerumah untuk bertemu orang tuamu” balas Fariez.
Esok
harinya Fariez datang kerumah sesuai janjinya dia melamarku kepada Ayah dan
Ibu. Sudah bisa ditebak Ibu orang yang paling bahagia dan langsung memelukku
dengan erat sambil menangis ibu berkata “Makasih sayang, akhirnya Doa ibu
dikabulkan Allah”
Ahhh...
Ibu membuatku ikut meneteskan air mata. Aku tak tau keinginan Ibu untuk aku
segera menikah ternyata begitu besar sampai-sampai Ibu menangis ketika Fariez
melamarku.
Terima kasih Allah, telah
mengirimkan lelaki baik ini. Yang tidak hanya membuatku bahagia tapi juga kedua
orang tuaku. Jadikanlah dia jodoh tidak hanya didunia tapi kelak di akhiratmu
juga. Aamiin
0 komentar:
Posting Komentar