Aku
terisak saat memandang foto Ayah, lelaki yang begitu amat ku sayangi dalam
hidup. Sosok lelaki tampan yang sederhana dan Imam yang bertanggung jawab
kepada keluarganya. Aku sering memandangi dan memeluk foto Ayah setiap kali aku
merindukan Ayah yang sudah satu tahun menghadap Ilahi.
Aku
masih tak percaya Ayah yang begitu ku cintai, tak lagi ada ditengah-tengah
keluarga. Separuh hidupku seperti runtuh, kehilangan sumber semangat dan tempat
berbagi. Aku memang yang paling dekat dengan Ayah, keluarga dan teman-teman tak
jarang yang bilang aku ini anak Ayah. Karena hampir setiap saat Ayah selalu
memantau setiap kegiatan dan kabar aku melalui telpon, tak heran jika mereka
semua berpikir seperti itu.
Ayah segalanya
buat aku, bukan berarti aku tak menyayangi Ibu yang telah mengandungku selama 9
bulan dan melahirkan aku berjuang antara hidup dan mati. Aku sama-sama
menyayangi mereka, cintaku juga sama rata. Tanpa ibu aku tak akan mampu berdiri
sendiri. Hanya mungkin karena terlalu sering berkomunikasi dan dicerewetin Ayah
jadinya aku lebih dekat dengan Ayah.
Keluargaku
hidup dengan harmonis saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain,
keeratan itupun semakin terasa sejak kepergian Ayah, kami jadi sering berkumpul
bersama. Aku anak ke tiga dari empat bersaudara. Kedua kakakku sudah menikah
dan tinggal terpisah dari kami. Kakak pertamaku laki-laki, namanya Bang Guntur.
Dan kakak keduaku perempuan, namanya Kak Salma. Adikku yang bungsu laki-laki,
namanya Rama.
Hingga pada
suatu hari badai itu datang, Ibu terlihat sedang dekat dengan seorang laki-laki
yang katanya dulu adalah temannya sewaktu masih sekolah. Aku memang pernah
bertemu dengannya beberapakali saat Ayah masih ada, dia pernah berkunjung
kerumah jika sedang ada di Bandung. Ibu pernah cerita, kalau temannya itu kerja
dan menetap diJakart. Namanya Pak Candra. Dia sudah menduda cukup lama, dulu
saat ibu cerita aku masih duduk dibangku SMA. Katanya dia cerai dengan Istrinya
yang orang Minang dan kedua anak perempuannya ikut dengan Ibu mereka tinggal di
Minang. Terakhir saat Ayah sakit dia sempat datang menjenguk dan aku dengar
mantan istrinya sudah meninggal dunia.
Sejujurnya aku
sangat kecewa mendengar kedekatan Ibu dengan lelaki itu, walaupun setiap kali
keluarga menanyakan ibu selalu menjawab hanya sebatas teman. Tapi aku merasakan
ada niat tertentu dibalik kedekatan mereka. Ibu yang dulu tak begitu dekat
dengan lelaki teman-teman semasa sekolahnya dulu, sekarang menjadi jauh
berbeda. Sering aku mendengar mereka sekedar bertelpon ria, mereka terlihat asik
bercanda lewat telpon, terkadang akupun membaca beberapa pesan singkatnya yang
menurutku tak biasa untuk sebuah pertemanan.
Ya Allah, hamba tak ingin dan tak akan
pernah Ridha mempunyai Ayah tiri. Membayangkannya saja tak pernah apalagi kalau
sampai mengalaminya. Aku tak mau!
Semakin hari
aku semakin kecewa dengan sikap ibu, tapi semua kutahan. Dan akupun menjadi
lemah, tak jarang aku menangis setiap kali melihat ibu menerima telpon dari
lelaki itu. Ingin rasanya berteriak, aku marah, kecewa. Ya, Allah kenapa Ibu ku
begitu berubah. Sering aku menyibukan diri dikampus sampai sore hanya untuk
menghindari melihat ibu tengah asik bercanda ditelpon dengan lelaki itu.
Selama ini yang
aku tahu mereka hanya sebatas bertelpon ria tak pernah jauh sampai pergi berdua.
Pernah sekali dia berkunjung kerumah, dan aku memasang wajah jutek dan ibu tahu
dari sikapku kalau aku tak menyukai temannya itu. Sejak saat itu dia tak pernah
berani datang kerumah. Tiga bulan sudah kupendam semua kekecewaan dan kesedihan
ini sendiri. Tak pernah sekalipun kuceritakan pada kedua kakakku apalagi kepada
si bungsu Rama, masih duduk dibangku SMA. Kedua kakakku terlihat tak begitu
perduli dengan gosip dan kedekatan ibu dengan temannya itu. Dan itu semua
membuat kekecewaanku semakin besar. Sementara si bungsu terlihat tak suka hanya
saja tak berani mengutarakan.
Akhirnya
kekecewaan aku sampai pada batasnya. Saat itu Pak Candra berkunjung kerumah,
dia terlihat kaget melihat aku yang membukakan pintu. Mungkin dia pikir aku tak
ada dirumah, saat dia datang Ibu sedang ada urusan disekolah si bungsu.
“Ibu ada
Neng?” tanyanya dengan senyum.
Aku pikir
mungkin ini saatnya aku bicara jujur pada laki-laki yang paling aku benci
selama tiga bulan terakhir ini. Lelaki yang membuat aku muak dan ingin memakinya.
Tapi sebisa mungkin aku menahan diri untuk sopan.
“Tidak ada,
sedang kesekolah si bungsu” jawabku sedikit ketus.
“ohh, begitu.
Yasudah nanti saja Bapak kesini lagi” katanya lagi masih dengan senyum
diwajahnya.
“Tunggu Pak,
kalau boleh saya mau bicara” kataku masih menahan emosi
“Ada apa?”
tanyanya yang masih berdiri dipintu dan tak kupersilahkan masuk.
“Maaf, saya
tahu Bapak dan Ibu berteman dari sejak dibangku SD. Saya juga sedikitnya tahu
tentang Bapak. Tapi jujur saja saya tidak suka dengan kedekatan Bapak dengan
Ibu saya dan saya juga tidak suka dengan kunjungan Bapak ini” kata saya
menegaskan.
“Memang apa
yang salah dengan kedekatan kami berdua Neng?” tanyanya dengan senyum sedikit meledek
yang membuat saya semakin emosi.
“Yang salah
karena status kalian janda dan duda, itu akan menimbulkan fitnah” jawabku
dengan nada sedikit emosi.
“Tapi kami tak
pernah jalan berdua, berjinah atau
apapun itu yang dapat menimbulkan fitnah dan dosa”. Katanya menyanggah
Rasanya
emosiku sudah tak bisa kutahan lagi “Dengan menelpon setiap hari, tertawa dan
bercanda layaknya remaja ABG ditelpon bapak pikir itu bukan jinah? Apalagi
kalian bukan muhrimnya” kataku penuh emosi.
“Tapi bukan
saya yang menelpon Ibu Neng duluan, Ibu yang suka menelpon dulua. Kasihan dong
kalau tidak saya respon” katanya santai dengan senyum meledek
“Ya, Allah
maafkan hambamu ini, hamba benar-benar sudah tidak bisa lagi menahan emosi dan
bersikap sama lelaki didepan hamba”. Keluhku dalam hati
“Terserah
bapak mau bilang apa, pokoknya saya tidak suka dengan kedekatan kalian. Dan
harap jauhi Ibu saya, tak usah lagi berhubungan sekalipun Ibu saya yang
menghubungi duluan” kataku mengakhiri pembicaraan ini dengan benar-benar penuh
emosi dan membanting Pintu.
Aku masuk
kamar dan menangis menatap foto Ayah. Ahhh...rasanya hari ini begitu kangen
Ayah. “Seandainya Ayah masih ada, mungkin air mata ini tak akan pernah ada. Seandainya
Ayah ada hati ini tak akan sesakit ini, Yah” kataku dalam hati.
Sore itu saat
aku tengah asik menonton TV denga Adikku tiba-tiba ibu membuka obrolan. “Neng,
tadi Pak Candra kesini kan?” tanya Ibu
“Iya” jawabku
singkat.
“Kenapa kamu
ngomong gitu ke Pak Candra? Gak sopan kamu sama yang lebih tua” kata ibu
“Ohh, jadi dia
ngadu sama Ibu. Nayla udah berusaha sopan dia duluan aja yang mulai” kataku
sedikit emosi
“Nay, jaga
omongan kamu Pak Candra itu lebih tua dari kamu. Kalau ngomong yang sopan” kata
Ibu dengan nada sedikit tinggi.
“Jadi ibu
lebih ngebela dia? Ibu tau gak, dia bilang ibu yang kecentilan nelpon dia tiap
hari. Nay sakit denger itu Bu” kataku mulai terisak
“Biarin Pak
Candra mau bilang ibu yang duluan atau apapun, kenyataannya ibu gak gitu. Kamu
harus tetep sopan sama yang lebih tua. Lagian antara Ibu dan Pak Candra gak ada
hubungan apapun Nay”
“Terus aja ibu
belain dia, Ibu Cuma mikirin kesenangan Ibu. Ibu gak mikirin perasaan Nay,
perasaan Rama setiap hari ngliat ibu ketawa ketiwi sama orang itu di telpon,
hati Nay sakit Bu”. Tangisku semakin kencang.
“kenapa harus
sakit hati? Ibu kan udah bilang sama kalian semua dan keluarga yang lain kalau
Ibu gak mau dan gak akan nikah lagi. Jadi kamu gak usah berlebihan” Ibu juga
terlihat jadi emosi
“Kalau Ibu
emang gak mau nikah lagi berhenti berhubungan sama dia, itu Cuma nyakitin hati
anak-anak ibu” jawabku masih terisak
“Anak-anak Ibu
yang mana? Cuma kamu aja yang sikapnya berlebihan, kedua kakak kamu tau tapi
mereka biasa saja. Rama juga biasa saja. Cuma kamu aja, Nay”. Ibu semakin emosi
Allah, ada apa
dengan sikap ibu. Aku benar-benar kecewa. “Rama masih kecil Bu, kalau coba ibu
pahami mungkin dia jauh lebih sakit dari Nay. Ibu egois benar-benar egois”
akupun berlari kekamar, aku lupa akan Rama. Rama ada disana menyaksikan
pertengkaranku dengan Ibu.
“Maafkan
Kakak. Ram” gumamku dikamar
“Kamu dari
dulu memang anak Ibu yang paling susah dibilangin, keras kepala” suara Ibu
masih terdengar dari luar dan tampaknya Ibupun semakin emosi.
Aku hanya bisa
menangis sejadi-jadinya sambil mengingat Ayah. “Ayah... Ayahhh” Isaku dalam
tangis.
“Kamu sudah
dewasa Nay, harusnya kamu memberi contoh buat Rama Adikmu, bukan malah bersikap
tak sopan kepada yang lebih tua” Ibu masih saja menggerutu.
Entah kapan
Ibu berhenti menggerutu, tiba-tiba saja aku sudah tak mendengar lagi suaranya.
Aku tertidur karena terlalu lelah dengan semua emosi dan tangisku malam ini.
Esoknya saat aku bangun rumah sudah sepi. Rama sudah pasti pergi sekolah, Ibu
mungkin kepasar pikirku. Aku bergegas mandi dan pergi kekampus. Aku tak mau
bertatap wajah dengan Ibu, itu hanya akan merusak moodku saja.
Sorenya saat
aku tiba dirumah, hanya Rama yang terlihat tengah asik menonton TV dan Ibu tak
terlihat. Didapurpun Ibu tak ada. Kamarnya pun sepi, aku pikir Ibu sedang
istrirahat. Sampai malam tiba Ibu masih tak terlihat. Aku pun khawatir dan aku
beranikan diri membuka pintu kamarnya tapi aku tetap tak bisa menemukan Ibu.
“Ibu kemana
Dek?” tanyaku pada Rama.
“Katanya mau
nginep dirumah Kak Salma” jawab Rama yang terlihat sibuk dengan PR dan menontn
TV
“Ko tumben seh
nginep? Emang Kak Salma kenapa?” tanyaku
“Gak tau,
gara-gara kemarin bertengkar sama Kakak Mungkin” jawab Rama
“Ohhh...”
kataku lirih. “Kamu tuh kebiasaan De kalau belajar sambil nontn TV. kakak mau
tidur duluan cape, kamu tidurnya jangan malem-malem terus TV nya jangan lupa
dimatiin yaa” kataku lagi.
“Siippp” jawab
Rama singkat
“Jangan
sip-sip aja, nanti malah ketiduran depan TV lagi kamu” kataku mengacak-acak
rambut Adik kesayanganku
“Ngga, tenang
aja. Kak besok bangun pagi siapin sarapan buat Rama yaa?” kata Rama sedkit
teriak
“Oke, tenang”
kataku mengancungkan jempol sambil berlalu.
“Awas jangan
kesiangan lho” katanya sedikit khawatir.
Aku memang
paling susah bangun diantara saudara-saudaraku yang lain. Semasa sekolah
dulupun aku sering kesiangan. Dulu sewaktu masih ada Ayah, Ayah lah yang selalu
membangunkan aku dengan berbagai cara. Ahh.. Ayah, akhir-akhir ini aku kangen
sekali sama Ayah.
Tiga hari
sudah Ibu menginap dirumah Kak Salma. Mungkin benar kata Rama, Ibu pergi dari
rumah karena pertengkaran kami beberapa hari yang lalu. Gak biasanya ibu
menginap lama dirumah kak Salma, biasanya sehari aja ibu udah langsung inget
Rama gak ada yang ngurus katanya, kalau ditinggal berdua sama aku. Ibu juga gak
pernah menelpon hanya sekedar bertanya tentang Rama.
Hari ini aku
pulang lebih awal karena kasihan Rama kalau aku pulang sore. Saat sampai rumah
aku lihat Ibu sudah pulang, tapi Ibu pulang hanya sebentar untuk mengantarkan
makanan buat Rama dan Ibu pergi lagi ke rumah Kak Salma diantar ojeg. Rumah Kak
Salma memang tak begitu jauh dari rumah kami, mungkin hanya memerlukan 1,5 jam
perjalanan.
Sejujurnya aku
semakin kecewa kepada Ibu, kenapa sikapnya harus seperti ini? Kalau memang Ibu
marah kepadaku tak masalah buatku tapi jangan pergi meninggalkan rumah sampai
tak ingat si Bungsu. Mungkin aku tak masalah Ibu tinggal berhari-haripun, tapi
Rama? Dia masih kecil, masih butuh Ibu. Sejak kejadian malam itu hubungan aku
dan Ibu semakin buruk dan kamipun tak saling bicara satu sama lain. Kedua
Kakakku tak pernah bertanya atau mengatakan apapun tentang situasi ini.
Entahlah, mungkin mereka terlalu sibuk atau mereka tak perduli lagi.
Kekecewaan
akupun semakin hari semakin dalam terhadap keluarga. Ibu hanya karena laki-laki
yang belum tentu lebih baik dari Ayah tega mengabaikan aku dan Rama dengan
berlama-lama dirumah Kakakku. Bagaimanapun
aku dan Rama masih tanggung jawab Ibu tapi Ibu lebih memilih ketenangan hatinya
dari pada kami yang masih menjadi tanggung jawabnya. Sikap kedua kakakku yang
membiarkan Ibu berlama-lama meninggalkan kami itupun membuat aku amat kecewa.
Aku tahu kak Salma dari dulu memang yang paling dekat dengan Ibu dan paling
dimanja Ibu sekalipun dia sudah menikah, tapi harusnya kak Salma bisa
menasehati Ibu. Bukankah seorang anakpun bisa menasehati Ibunya jika memang
yang dilakukan Ibunya Itu salah?.
Aku hanya bisa
berdoa setiap saat kepada Allah agar kelak keluargaku kembali utuh seperti
dulu, kehangatan dan canda tawa itu kembali ada antara kami semua. Dan aku
selalu berdoa semoga Ibu dibukakan mata hatinya bahwa sosok teman yang dia bela
tak membawa kebaikan untuk keutuhan dan kenyamanan keluarga kami. Lindungi Ibu
hamba dimanapun dia berada Ya Allah.
Nayla sayang Ibu. Semua sikap keras Nay,
bukan karena Nay egois Bu tapi karena Nay sayang dan ingin yang terbaik untuk
Ibu dan keluarga kita. Apapun alasannya kehadiran lelaki itu tak akan pernah
tepat. Semoga Ibu dan keluarga memahami hati Nay. Sampaikan pun Nay Sayang Ibu.
9 komentar:
Ini... Sama persis sama apa yang indah alamin sekarang. Ngena banget ceritanya :"
sedih :'(
Bkalan sm nie ceritanya kyak gue
Bkalan sm nie ceritanya kyak gue
inilah yang akan kembali menimpaku
Biasanya seorang Ibu tak sampai Berlebihan seperti itu jika sedang Marah...Bahkan segera reda marah nya, apalagi dengan anak kandung sendiri.
dan cerita itu menimpa saya 2th lalu sampai sekrang, menahan kecewa dan emosi terhadap (ayah tiri).
Sama persis yang akan menimpaku
Kalau saya sejak usia 3 tahun ditinggal sosok ayah yg sangat aq cintai,dan hari ini aq merindukannya 😅
Posting Komentar